Selasa, 14 November 2017

Pengalaman Motivasi Diri Sendiri - Ilham Bismark

Pengalaman Motivasi Diri Sendiri

       Bicara soal motivasi tak lepas dari pada motivasi terbesar di dunia ini yaitu Tuhan. Adapun motivasi lain selain-Nya harus karna dan/atau untuk-Nya. Disamping itu, motivasi yang masih berkaitan adalah Orang Tua, karena ridho orang tua adalah ridho Allah subhanahu wa’taala. Semoga pengantar ini bisa membuka tulisan ini dengan sebaik-baiknya.
       Saya Ilham Hidayat Bismark, mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gunadarma, semester 7. Saat ini saya memegang prinsip kejujuran sekuat mungkin. Hal yang memotivasi saya adalah dari sebuah kejadian yang saya alami ketika sama sekolah, tepatnya di SMA Negeri 1 Solok Selatan.
       Dulu saya adalah seorang murid yang bisa dikatakan malas. Jika ada ujian saya sering kali tidak belajar untuk ujian tersebut. Suatu saat ketika saya berada di semester satu kelas dua SMA, ada ujian harian di mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (kalau saya tidak salah ingat) dengan guru yang anggap saja bernama “Yeni”. Ketika itu saya benar-benar tidak terlalu faham pelajarannya dan saya juga malas untuk belajar. Sehingga sesaat sebelum ujian dimulai saya cemas, namun ada teman sebut saja namanya “Putra” yang menenangkan saya sambil berkata “tenang saja”. Ketika ujian berlangsung sangat sedikit sekali soal yang bisa saya jawab, sehingga hanya bisa terdiam merenungi ujian tersebut. Tapi, beberapa saat si “Putra” memberikan kertas yang seolah-olah bercahaya di kala gelap gulita berisikan jawaban ujian kepada saya. Tanpa berpikir panjang, saya menyalin jawaban tersebut. Ternyata memang satu kelas sudah mempersiapkan ujian ini secara sembunyi-sembunyi untuk mendapat jawaban. Bisa dikatakan semua anggota kelas itu curang dalam ujian kecuali satu orang, anggap saja namanya “Fani”. Fani terkesan sebagai orang yang ideal. Dalam ujian tersebut bisa dikatakan hanya dia yang tidak curang.
       Di saat saya menyalin lembaran kertas yang berisikan jawaban tadi ke kertas ujian saya si Fani menegur semua orang yang ada di kelas sambil agak berteriak, “gak asyik ujian kayak gini kawan !!”. Dia berteriak seakan-akan tak ada guru di dalam kelas, padahal guru tersebut berada di depan kelas. Mendengar teriakan si Fani tadi saya langsung berhenti dari kegiatan curang itu. Saya berpikir panjang, bagaimana bisa saya yang diajari kejujuran dari sekolah dasar bisa melakukan hal yang tercela seperti itu?. Bagaimana bisa orang-orang yang dilatarbelakangi pendidikan ini bisa curang hanya dalam hal kecil seperti ujian harian?. Untuk apa kita berbicara kejujuran padahal pada kenyataannya kita masih saja tetap berbuat kecurangan?. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan terus berputar di fikiran saya. Sehingga akhirnya saya terdiam dan memilih untuk tidak melanjutkan perbuatan tercela itu lagi dan saya bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
       Ujian akan datang ketika kita ingin naik ketingkat yang lebih tinggi. Saya yakin dengan pernyataan tersebut dan ternyata memang. Setelah saya memutuskan untuk jujur dalam ujian apapun, nilai akademik saya banyak yang turun. Bahkan ada guru yang menyuruh saya tetap melakukan perbuatan tercelah itu supaya nilai saya naik. Tapi dengan keyakinan teguh, saya tetap ingin jujur dalam keadaan apapun.
       Kurang lebih satu tahun berlalu dengan nilai seadanya saya berada di kelas tiga SMA. Saya mendapat pelajaran dengan bu Yeni kembali yaitu pelajaran Sejarah (kalau saya tidak salah ingat), dan saya masih sekelas dengan si Fani. Suatu ketika ada ujian pertengahan semester bersama bu Yeni. Seperti biasa kebanyakan anggota kelas saya melihat buku yang seharusnya tidak boleh ketika ujian berlangsung. Walau demikian, alhamdulillah saya tetap tidak ingin melihat buku walau saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ujiannya. Alhasil, beberapa minggu kemudian bu Yeni mengembalikan kertas ulangan tengah semester tersebut, beliau berkata, “hasil ujian kalian bagus-bagus semua rata-rata nilainya dari 80 sampai 100, tapi ada yang tidak bagus ini nilainya, Ilham coba ke depan”, dengan perasaan campur aduk saya ke meja guru. Secara personal ibu Yeni memberi tahu saya bahwa nilai saya hanya 40 dari 100. Saya meminta maaf “iya bu, maaf saya tidak belajar waktu itu” dan berbagai bercakapan terjadi antara saya dan bu Yeni, sampai suatu ketika beliau berkata “lihat ini teman-teman kamu nilainya bagus-bagus”, karena tidak terima secara spontan saya berkata “itu bukan nilai mereka bu”, bu Yeni pun mengangguk sambil berkata “iya saya tahu, mereka ujian liat LKS (lembar kerja siswa, buku yang biasa jadi referensi pembelajaran), yasudah sekarang kamu remedial saja seperti biasa” sambung beliau, “iya bu, terimakasih bu” jawab saya. Seketika itu saya meremedialkan ujian saya sendiri.
       Beberapa hari berlalu dan rapor ujian tengah semester pun keluar. Saya melihat nilai sejarah saya mendapat 80, sedangkan teman-teman saya yang curang tadi hanya mendapat 70. Kesenangan yang luar biasa tiada tara saya rasakan ketika itu. Saya sadar, disaat saya memutuskan untuk berbuat baik dengan cara jujur, manfaatnya tidak akan begitu terasa di awal perjuangan. Bahkan rasa pahitlah yang jadi bumbu perjuangan di awal dan setelah berbulan-bulan merasakannya, Allah subhanahu wataala memberikan rasa manisnya buah kejujuran sebagai sebuah pencapaian.
       Jujur saja saat ini saya juga tidak terlalu ideal untuk terus jujur dalam keadaan apapun. Tapi kisah inilah yang menjadi titik balik saya untuk terus berbuat suatu hal yang positif. Bukan hanya soal jujur, tapi juga akhlak, pengambilan keputusan, prioritas dan lain-lain tentang manajemen kehidupan seiring berjalannya waktu bertahap untuk terus membenahi diri menjadi lebih baik. Setiap kita mempunyai motivasi diri masing-masing. Dan kebanyakan motivasi diri saya adalah dari kisah-kisah pengalaman. Karena bagi saya pengalaman adalah guru terbaik yang tak akan pernah berbohong.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar