Pengalaman
Motivasi Diri Sendiri
Bicara
soal motivasi tak lepas dari pada motivasi terbesar di dunia ini yaitu Tuhan. Adapun
motivasi lain selain-Nya harus karna dan/atau untuk-Nya. Disamping itu,
motivasi yang masih berkaitan adalah Orang Tua, karena ridho orang tua adalah
ridho Allah subhanahu wa’taala. Semoga pengantar ini bisa membuka tulisan ini
dengan sebaik-baiknya.
Saya
Ilham Hidayat Bismark, mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gunadarma,
semester 7. Saat ini saya memegang prinsip kejujuran sekuat mungkin. Hal yang
memotivasi saya adalah dari sebuah kejadian yang saya alami ketika sama
sekolah, tepatnya di SMA Negeri 1 Solok Selatan.
Dulu
saya adalah seorang murid yang bisa dikatakan malas. Jika ada ujian saya sering
kali tidak belajar untuk ujian tersebut. Suatu saat ketika saya berada di
semester satu kelas dua SMA, ada ujian harian di mata pelajaran Budaya Alam
Minangkabau (kalau saya tidak salah ingat) dengan guru yang anggap saja bernama
“Yeni”. Ketika itu saya benar-benar tidak terlalu faham pelajarannya dan saya
juga malas untuk belajar. Sehingga sesaat sebelum ujian dimulai saya cemas,
namun ada teman sebut saja namanya “Putra” yang menenangkan saya sambil berkata
“tenang saja”. Ketika ujian berlangsung sangat sedikit sekali soal yang bisa
saya jawab, sehingga hanya bisa terdiam merenungi ujian tersebut. Tapi,
beberapa saat si “Putra” memberikan kertas yang seolah-olah bercahaya di kala
gelap gulita berisikan jawaban ujian kepada saya. Tanpa berpikir panjang, saya
menyalin jawaban tersebut. Ternyata memang satu kelas sudah mempersiapkan ujian
ini secara sembunyi-sembunyi untuk mendapat jawaban. Bisa dikatakan semua
anggota kelas itu curang dalam ujian kecuali satu orang, anggap saja namanya “Fani”.
Fani terkesan sebagai orang yang ideal. Dalam ujian tersebut bisa dikatakan
hanya dia yang tidak curang.
Di
saat saya menyalin lembaran kertas yang berisikan jawaban tadi ke kertas ujian
saya si Fani menegur semua orang yang ada di kelas sambil agak berteriak, “gak asyik ujian kayak gini kawan !!”. Dia
berteriak seakan-akan tak ada guru di dalam kelas, padahal guru tersebut berada
di depan kelas. Mendengar teriakan si Fani tadi saya langsung berhenti dari
kegiatan curang itu. Saya berpikir panjang, bagaimana bisa saya yang diajari
kejujuran dari sekolah dasar bisa melakukan hal yang tercela seperti itu?. Bagaimana
bisa orang-orang yang dilatarbelakangi pendidikan ini bisa curang hanya dalam
hal kecil seperti ujian harian?. Untuk apa kita berbicara kejujuran padahal
pada kenyataannya kita masih saja tetap berbuat kecurangan?. Pertanyaan-pertanyaan
itu seakan-akan terus berputar di fikiran saya. Sehingga akhirnya saya terdiam
dan memilih untuk tidak melanjutkan perbuatan tercela itu lagi dan saya
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Ujian
akan datang ketika kita ingin naik ketingkat yang lebih tinggi. Saya yakin
dengan pernyataan tersebut dan ternyata memang. Setelah saya memutuskan untuk
jujur dalam ujian apapun, nilai akademik saya banyak yang turun. Bahkan ada guru
yang menyuruh saya tetap melakukan perbuatan tercelah itu supaya nilai saya
naik. Tapi dengan keyakinan teguh, saya tetap ingin jujur dalam keadaan apapun.
Kurang
lebih satu tahun berlalu dengan nilai seadanya saya berada di kelas tiga SMA. Saya
mendapat pelajaran dengan bu Yeni kembali yaitu pelajaran Sejarah (kalau saya
tidak salah ingat), dan saya masih sekelas dengan si Fani. Suatu ketika ada
ujian pertengahan semester bersama bu Yeni. Seperti biasa kebanyakan anggota
kelas saya melihat buku yang seharusnya tidak boleh ketika ujian berlangsung. Walau
demikian, alhamdulillah saya tetap tidak ingin melihat buku walau saya tidak
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ujiannya. Alhasil, beberapa minggu kemudian
bu Yeni mengembalikan kertas ulangan tengah semester tersebut, beliau berkata, “hasil ujian kalian bagus-bagus semua
rata-rata nilainya dari 80 sampai 100, tapi ada yang tidak bagus ini nilainya,
Ilham coba ke depan”, dengan perasaan campur aduk saya ke meja guru. Secara
personal ibu Yeni memberi tahu saya bahwa nilai saya hanya 40 dari 100. Saya meminta
maaf “iya bu, maaf saya tidak belajar waktu itu” dan berbagai bercakapan
terjadi antara saya dan bu Yeni, sampai suatu ketika beliau berkata “lihat ini
teman-teman kamu nilainya bagus-bagus”, karena tidak terima secara spontan saya
berkata “itu bukan nilai mereka bu”, bu Yeni pun mengangguk sambil berkata “iya
saya tahu, mereka ujian liat LKS (lembar kerja siswa, buku yang biasa jadi
referensi pembelajaran), yasudah sekarang kamu remedial saja seperti biasa”
sambung beliau, “iya bu, terimakasih bu” jawab saya. Seketika itu saya
meremedialkan ujian saya sendiri.
Beberapa
hari berlalu dan rapor ujian tengah semester pun keluar. Saya melihat nilai sejarah
saya mendapat 80, sedangkan teman-teman saya yang curang tadi hanya mendapat
70. Kesenangan yang luar biasa tiada tara saya rasakan ketika itu. Saya sadar,
disaat saya memutuskan untuk berbuat baik dengan cara jujur, manfaatnya tidak
akan begitu terasa di awal perjuangan. Bahkan rasa pahitlah yang jadi bumbu
perjuangan di awal dan setelah berbulan-bulan merasakannya, Allah subhanahu
wataala memberikan rasa manisnya buah kejujuran sebagai sebuah pencapaian.
Jujur
saja saat ini saya juga tidak terlalu ideal untuk terus jujur dalam keadaan
apapun. Tapi kisah inilah yang menjadi titik balik saya untuk terus berbuat
suatu hal yang positif. Bukan hanya soal jujur, tapi juga akhlak, pengambilan
keputusan, prioritas dan lain-lain tentang manajemen kehidupan seiring
berjalannya waktu bertahap untuk terus membenahi diri menjadi lebih baik. Setiap
kita mempunyai motivasi diri masing-masing. Dan kebanyakan motivasi diri saya
adalah dari kisah-kisah pengalaman. Karena bagi saya pengalaman adalah guru
terbaik yang tak akan pernah berbohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar